KOLOMRAKYAT.COM: KENDARI – Lembaga Masyarakat Buruh (LMB) Sulawesi Tenggara menilai putusan Pengadilan Negeri Andoolo dalam perkara dugaan perusakan hutan konservasi Tanjung Betikolo di Desa Bangun Jaya, Lainea, Kabupaten Konawe Selatan, yang membebaskan sementara Kepala Desa Bangun Jaya Masrin sebagai tersangka adalah keputusan yang prematur dan tidak sejalan dengan prinsip keadilan hukum.
Pembebasan tersangka dalam kasus pengrusakan hutan konservasi tersebut tertuang dalam putusan PN Andoolo Nomor 79/Pid.Sus.LH/2025/PN.A. tentang penangguhan perkara.
Direktur Eksekutif LMB Sultra, Drs. Sugianto Fara, menyatakan menilai keputusan itu terlalu dini dan bertentangan dengan semangat penegakan hukum yang berkeadilan.
“Dalam kasus pidana khusus seperti ini, seharusnya tidak ada ruang untuk penangguhan perkara,” tegas Sugianto dalam keterangannya di Kendari, Sabtu (2/11/2025).
Sugianto mengatakan, secara kelembagaan LBM sangat menghormati kewenangan Pengadilan dalam putusan itu, namun penangguhan perkara tersebut tidak memiliki dasar kuat secara hukum. Pasalnya, berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956, terdapat pembatasan bahwa tindak pidana khusus seperti korupsi, perusakan lingkungan, serta perambahan hutan konservasi tidak dapat ditangguhkan proses hukumnya.
“Kasus ini menyangkut kawasan konservasi yang dilindungi negara. Maka logikanya, setiap tindakan perusakan tidak bisa ditoleransi atau ditangguhkan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti jalannya persidangan yang dinilai belum menjunjung tinggi asas transparansi dan keadilan. Dimana, dalam proses sidang, tidak ada pemanggilan saksi-saksi maupun saksi ahli, padahal hal itu merupakan bagian penting dari proses pembuktian.
Lebih jauh, Sugiarto menilai majelis hakim seharusnya lebih jeli dan mempertimbangkan putusan-putusan terdahulu. Salah satu contoh dalam kasus serupa, pernah ada warga yang dijatuhi hukuman empat tahun penjara hanya karena menebang sebatang kayu di kawasan konservasi Tanjung Betikolo.
“Kalau masyarakat kecil bisa dihukum berat karena satu batang kayu, bagaimana dengan Kepala Desa Bangun Jaya yang diduga merusak hutan konservasi seluas satu hektare? Ini harus menjadi perhatian serius,” tegasnya.
Sugianto menekankan, objek perkara ini jelas — yakni dugaan perusakan kawasan hutan konservasi Tanjung Betikolo di Desa Bangun Jaya. Karena itu, tidak ada alasan hukum yang dapat membenarkan penangguhan perkara terhadap pelaku, siapapun dia.
Untuk itu, ia meminta dan mendesak Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara untuk meninjau kembali putusan Pengadilan Negeri Andoolo.
“Kami berharap Pengadilan Tinggi menelaah ulang putusan tersebut. Hukum harus ditegakkan secara adil, tanpa pandang jabatan dan tanpa kompromi,” pungkasnya.
Dilansir dari berbagai media, Kuasa hukum Kepala Desa Bangun Jaya, Fatahillah, SH., MH., mengatakan, keputusan majelis hakim menangguhkan perkara pidana yang menjerat kliennya merupakan langkah tepat dan beralasan hukum.
Ia menjelaskan, penangguhan dilakukan karena saat ini sedang berlangsung perkara perdata antara Musrin dan Kementerian Kehutanan serta BPKH, dengan nomor perkara 32/Pdt.G/2025/PN Andoolo, yang menyangkut status hukum lahan yang dipersoalkan.
Menurut Fatahillah, penghentian sementara penanganan perkara pidana diperbolehkan oleh berbagai peraturan dan telah memiliki landasan dalam sejumlah putusan yurisprudensi.
“Status lahan yang menjadi objek perkara masih status quo dan belum ada kepastian kepemilikan, sehingga wajar jika majelis hakim memilih menunda perkara pidananya hingga ada putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap,” ujar Minggu (2/11/2025).
“Kalau perkara pidana dipaksakan berjalan, lalu ternyata dalam perkara perdata klien kami dinyatakan menang, itu jelas tidak adil. Artinya ia dihukum karena melakukan kegiatan di atas tanahnya sendiri,” sambung Fatahillah.
Menurutnya, langkah majelis hakim sudah sejalan dengan prinsip kehati-hatian dalam hukum, sebab substansi sengketa masih menunggu kepastian dari sisi keperdataan.
Editor: Hasrul Tamrin











