KOLOMRAKYAT.COM: KENDARI – Puluhan nelayan di Kendari yang tergabung dalam Himpunan Masyarakat Nelayan Sultra Kota Kendari menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur dan Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Senin (14/4/2025).
Aksi unjuk rasa ini ditengarai oleh kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian Perikanan dan Kelautan yang mewajibkan kepada para nelayan untuk memasang Vessel Monitoring System (VMS) di kapal-kapal penangkapan ikan.
Nelayan menilai kebijakan pemerintah pusat ini yang ditindaklanjuti oleh Kantor Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) dengan mengalihkan perizinan di pusat melalui pembelian atau pengadaan VMS bagi kapal nelayan sangat menyulitkan dan membebani masyarakat nelayan.
Hal tersebut juga disebut-sebut justru berbanding terbalik dengan visi misi Presiden untuk menyejahterakan nelayan.
Perwakilan Nelayan sekaligus Jenderal Lapangan Aksi Unjuk Rasa Nelayan Sultra Kota Kendari, Joko Priono, mengatakan terkait dengan kebijakan pemerintah pusat yang disampaikan oleh instansi terkait melalui surat edaran tentang pemasangan VMS terhadap kapal-kapal nelayan merupakan sebuah kebijakan jebakan yang menyengsarakan nelayan bukan untuk kesejahteraan masyarakat nelayan.
“Kebijakan VMS ini sangat menyulitkan dan membebani nelayan, mengapa demikian karena pemasangan VMS ini memakan biaya dikisaran Rp 13 juta s.d 18 juta,” katanya, usai menggelar unjuk rasa dan bertemu dengan anggota Komisi II DPRD Sultra.
Lebih parahnya lagi, lanjut dia, selain biaya pemasangan yang mahal, para nelayan juga akan dikenakan biaya untuk membayar perawatan sekira Rp 6 juta rupiah lebih setiap tahun.
“Jadi kebijakan ini merupakan sesuatu hal yang sangat efektif untuk nelayan di Sultra. Apalagi kita tahu sendiri nelayan-nelayan di Sultra ini pendapatan atau penghasilannya begitu-begitu saja,” kesalnya.
Kebijakan penerapan pemasangan VMS tersebut ditentang keras para nelayan di Sultra. Belum lagi, pemerintah memungut pajak (PNBP) sebesar 5 persen kepada setiap nelayan pemilik kapal sesuai dengan hasil tangkapan masing-masing.
“Kewajiban membayar pajak PNBP itu, mau rugi atau tidak, mau banyak atau sedikit pendapatan nelayan, pajak itu tetap harus dibayarkan nelayan. Tapi kenyataan di lapangan, pajak yang telah dibayarkan selama ini tidak pernah menyejahterakan masyarakat nelayan, justru makin tambah dibebani,” terang Joko.
Selain itu, nelayan di Sultra juga menolak pengharusan bagi nelayan untuk penggunaan Pelagis Besar dengan dalih izin pusat. Semestinya, pelagis itu hanya dimanfaatkan oleh nelayan skala besar yang jalur tangkapannya di perairan luar atau besar.
“Itu juga sangat memberatkan kami para nelayan. Olehnya itu, kami menolak pemasangan VMS terhadap kapal-kapal nelayan di Sultra dan penggunaan Pelagis Besar itu. Kami tetap akan menggunakan pelagis kecil sesuai dengan biaya operasi dan pendapatan yang layak,” tegasnya.
Menolak adanya pemasangan VMS ini, menyebabkan puluhan kapal nelayan di Kendari tidak mendapatkan Surat Layak Operasi (SLO) dari instansi terkait, dan mereka tidak bisa melaut.
Untuk itu, para nelayan meminta kepada Gubernur Sultra untuk memfasilitasi kapal-kapal tradisional nelayan di Sulawesi Tenggara yang berstatus izin pusat dikembalikan ke daerah. Dan meminta kepada PSDKP untuk memberikan Surat Laik Operasi (SLO) pada kapal-kapal nelayan agar bisa beroperasi kembali untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Menanggapi aspirasi dari para nelayan yang menyampaikan aspirasi, Anggota DPRD Sultra H. Uking Djasa, menyatakan secepatnya akan melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan pihak atau instansi terkait untuk membahas terkait pemasangan VMS dan Pelagis Besar itu.
Menurut dia, terkait kebijakan pemerintah pusat tentang pemasangan VMS dan Pelagis yang telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) itu bukan hal sulit untuk dibatalkan.
“Kalau bukan besok atau lusa kita RDP, kita panggil itu PPS dan Dinas Kelautan dan perikanan untuk RDP. Nanti hasil RPD itu kita tuangkan dalam dokumen yang sama-sama kita suarakan di kementerian terkait,” jelasnya.
Laporan: Hasrul Tamrin