Opini

Simpang Jalan Rumah Baca di Era Digital

75
×

Simpang Jalan Rumah Baca di Era Digital

Sebarkan artikel ini
Sahir Barakati. (Dok. Pribadi) 

Oleh: Sahir Barakati

KENDARI, Selasa. 21 Mei 2024.

Pada 1 November 2007, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dilahirkan oleh para pemegang palu kekuasaan di legislatif. Namun, Perpustakaan Nasional sudah lebih dahulu didirikan pada 17 Mei tahun 1980. Malangnya, pada usia 44 tahun ini tentu pundak Perpustakaan dengan segala jenisnya memanggul beban berat dalam tugas pokoknya membangun literasi anak bangsa, untuk mengubah masyarakat tidak minat baca menjadi masyarakat yang sedikit-sedikit membaca.

Beban itu, kini kian bertambah berat, bukan lagi pada urusan untuk meningkatkan minat baca masyarakat tetapi telah bergeser sekedar untuk membuat masyarakat mau datang ke Perpustakaan maupun rumah baca.

Rendahnya minat baca kita tergambar pada survey yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang kemudian di release oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OEC) pada tahun 2019, Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara yang memiliki literasi rendah.

Baca Juga :  Putusan MK dan Masa Depan Pilkada yang Lebih Kompetitif

Ditengah gemuruhnya arus perkembangan teknologi yang sangat pesat menyebabkan banyak orang melakukan perubahan aktivitas dari yang sebelumnya offline menjadi online, dari yang konvensional menjadi digital. Perkembangan ini ikut menggeser perkembangan baca di Perpustakaan. Lahirnya Perpustakaan Digital merupakan bentuk representatif perkembangan teknologi di era digital saat ini.

Bahkan, seiring berkembangnya teknologi, Perpustakaan banyak mengalami perubahan signifikan. Berbagai jenis Perpustakaan ada di tengah-tengah kita, mulai dari hybrid, digital, sampai pada Perpustakaan Bookless. Perpustakaan Hybrid sendiri merupakan gabungan perpustakaan konvensional dan perpustakaan digital, dimana informasi yang dikemas dalam media elektronik maupun cetak digunakan secara bersamaan; Perpustakaan Digital merupakan perpustakaan yang menyediakan sumber-sumber digital;  sedangkan Perpustakaan Bookless merupakan perpustakaan yang memiliki koleksi dalam bentuk digital tanpa koleksi tercetak.

Namun demikian, kehadiran berbagai jenis Perpustakaan ini tidak lantas membuat minat baca meningkat. Ada apa?

Perpustakaan, sebagai institusi pengetahuan yang telah menjadi bagian integral dari masyarakat, saat ini menghadapi tantangan besar dalam mengikuti perkembangan zaman digital. Meskipun masyarakat berada dalam era digital native, Perpustakaan tampaknya terjebak dalam dilema transformasi yang tak kunjung usai. Ditambah dengan kemudahan berbagai akses informasi seperti Google dan kawan-kawannya yang merupakan salah satu Perpustakaan terbesar di dunia.

Baca Juga :  Politik Kehadiran dan 79 Tahun Indonesia Merdeka

Peran Perpustakaan yang konvensional sebagai sistem pencarian informasi telah digantikan oleh mesin yang disebut “Search Engine” yang memiliki kemampuan jutaan kali lipat lebih cepat, lebih luas, lebih handal, dari Perpustakaan manapun yang pada akhirnya berkonsekuensi pada keengganan masyarakat untuk berkunjung di Perpustakaan konvensional.

Di tengah berbagai kemudahan untuk mengakses informasi itu, bahan bacaan, maupun e-book dari Gadget dapat dengan mudah diakses dimanapun. Perpustakaan konvensional dan kawan-kawannya masih memiliki pasarnya sendiri. Hal ini terbukti dengan tetap meningkatnya pengguna Perpustakaan konvensional di era sekarang. Ditambah sebagai suatu upaya untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa konsep Perpustakaan juga berevolusi dan berubah bentuk menjadi sangat fleksibel. Perpustakaan kini dapat hadir di ruang-ruang publik, di angkasa maya, menyusupi jejaring sosial di dalam Gadget kita, di mana saja dan kapan saja.

Baca Juga :  Manajemen Resiko untuk Mencapai Tujuan Puasa

Era kapitalisasi digitalisasi di zaman ini tidak akan pernah mematikan atau dapat menggantikan perpustakaan konvensional jika para penggiat literasi lebih meningkatkan fleksibilitas dalam menavigasi perpustakaan dan rumah baca untuk terwujudnya literasi untuk kesejahteraan sebagaimana pencanangan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia melalui program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial yang bertujuan meningkatkan kegemaran membaca untuk mencerdaskan masyarakat dan mensejahterakan masyarakat.

Perpustakaan dan rumah baca perlu di dorong tidak hanya sekedar menyiapkan bahan bacaan konvensional dan adaptasi digital, tetapi menjadi tempat dan sumber untuk mendapatkan resources soft skill, dan ini perlu keseriusan stakeholder untuk membantu.***

Riwayat Penulis:
* Penggiat Literasi Kabupaten Muna Barat.
* Pendiri Rumah Baca Pondok Aksara Kecamatan Napanokusambi, Muna Barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!