Oleh: Sahir
(Penulis Adalah Ketua Panwaslu Kecamatan Napano Kusambi, Muna Barat)
KOLOMRAKYAT.COM: Hitungan hari lagi pemilihan umum (Pemilu) serentak akan dilaksanakan, dinamika politik lokal dan nasional menuju Pemilu 2024 semakin ramai. Riak-riak pun hingar bingar seiring sejalan dengan aksi-reaksi yang terjadi di antara kekuatan yang akan memasuki gelanggang kontestasi. Di situasi terkini berbagai ragam kekuatan dan sumber daya politik mulai terkonsolidasi.
Tidak terlepas dari itu, pada pertengahan tahun ini para penyelenggara Pemilu pun juga ikut terkonsentrasi menghadapi berbagai tahapan Pemilu dan sedang berada di fase sibuk sampai pada tahapan Pemilu 2024 selesai, demi mewujudnya Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam menjalankan tugas pokok dan wewenangnya sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum, Pengawas Pemilu tentunya tidak terlepas dari system dan dinamika politik serta peran-peran teknologi informasi yang terjadi pada saat pelaksanaan Pemilu di semua tahapan, entah pada proses pengawasan pun sampai pada proses pencegahan dan penanganan pelanggaran. Apalagi ditengah-tengah era digitalisasi dan juga teknologi informasi secara tidak langsung mempengaruhi sistem sosial masyarakat bahkan berdampak langsung dan menjadi tantangan tersendiri terhadap pelaksanaan tugas-tugas Pengawas Pemilu.
Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 78,19 persen pada 2023 atau menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi yang sebesar 275.773.901 jiwa. Tingkat penetrasi internet Indonesia pada tahun ini mengalami peningkatan sebesar 1,17 persen. Peningkatan penetrasi ini didorong oleh penggunaan internet yang kian jadi kebutuhan masyarakat, khususnya semenjak pandemi Covid-19 pada 2020, bila dilihat dari kategori gender di Indonesia, hasil survei menunjukkan kenaikan tingkat penetrasi internet untuk laki-laki pada 2022-2023 sebesar 79,32 persen dari total populasi laki-laki. Sementara itu, tingkat penetrasi internet untuk perempuan sebesar 77,36 persen dari total populasi perempuan di Indonesia.
Tentu hadirnya teknologi informasi memang menawarkan kemudahan, tetapi disisi lain juga menuntut manusia untuk berubah. Perubahan yang seakan tiada henti ini menyebabkan terjadinya disrupsi. Apa itu disrupsi? Menurut Meriam-Webster, arti disrupsi adalah jeda atau gangguan dalam situasi normal atau yang berkesinambungan dari suatu aktivitas, proses, dan lain-lain. Sementara itu Cambridge Dictionary, menterjemahkan disrupsi sebagai aksi yang mencegah sesuatu, terutama sistem, proses, atau suatu kejadian, dari melanjutkan jalannya seperti biasa atau sesuai ekspektasi.
Dalam konteks demokrasi ada dua dimensi yang akan terjadi dari pengaruh era digital pada dimensi positif, masyarakat dimudahkan untuk mendapatkan akses informasi, sekaligus terjadi percepatan informasi bila dibandingkan dengan momen Pemilu-pemilu sebelumnya. Tapi pada sisi lain, ada dampak negatif seperti pengalaman Pemilu 2019 lalu. Pada dimensi politik ini, akses penggunaan Ciber secara fundamental mempengaruhi sisi trust (kepercayaan) dan elektabilitas bagi Pengawas Pemilu.
Di era digital saat ini tentu pengawasan Pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu membutuhkan kerja keras. Bagaimana tidak, potensi pelanggaran Pemilu kini tidak lagi hanya terjadi sebatas di ruang publik yang nyata. Potensi pelanggaran juga terjadi di dunia maya, khususnya terkait dengan informasi bohong (hoaks) dan juga ujaran kebencian (hate speech). Mengingat interaksi masyarakat dewasa ini tidak hanya terjadi dalam ranah non-digital tapi juga ranah digital, hal ini pun menjadi kendala tersendiri dikarenakan Pengawas Pemilu tidak dapat menjangkau hal tersebut, sebab jika kita melihat regulasi yang ada belum diatur secara spesifik mengenai penindakan pelanggaran atau kejahatan Pemilu dalam dunia digital. Regulasi yang digunakan selama ini untuk menjerat pelaku hoaks dan hate speech lebih banyak merujuk kepada KUHP dan UU ITE.
Tantangan terakhir bagi Pengawas Pemilu di rezim digitalisasi saat ini tentu saja pencegahan dan penanganan pelanggaran kaitan dengan politik uang dengan platform digital salah satunya. Kendati Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) memasukan politik uang melalui platform digital atau e-wallet akan menjadi salah satu unsur dalam Indeks Kerawanan Pemilu 2024. Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) sendiri merupakan instrument yang disusun oleh Bawaslu untuk memetakan kerawanan Pemilu serta menjadi alat proyeksi dan deteksi dini terhadap kemungkinan kerawanan yang muncul dalam penyelenggaraan Pemilu.
Bawaslu sebagai ujung tombak pengawasan Pemilu tidak dapat menjangkau ataupun memiliki wewenang secara jelas di ranah ini apalagi secara materil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta peraturan turunannya belum mengakomodir payung hukum yang jelas tentang politik uang berbasis digital semacam Cryptocurrency yang di dalamnya terdapat Bitcoin, Ethereum, scan QRIS dan berbagai modus operandi lainnya yang dapat dilakukan via smartphone yang semuanya dilakukan tanpa harus bertemu secara langsung. Maka tentu saja beban pembuktian dan pemenuhan syarat formil dan materil pada penanganan pelanggaran pada Pemilu kali ini menjadi jauh lebih kompleks sekalipun secara expressive verbisĀ perbuatan iniĀ sepatutnya terkategorikan sebagai pidana Pemilu.
Permasalahan ini terjadi disebapkan tidak adanya kepastian hukum atau regulasi Pemilu yang lebih spesifik di ranah digital sehingga tidak bias mengikuti irama perkembangan teknologi yang berubah secara cepat. padahal sejatinya Undang-Undang yang baik adalah Undang-Undang yang bisa memprediksikan perubahan-perubahan yang akan terjadi di Masyarakat. ***
ini tampilan gambar iklan: ini tampilan gambar iklan: